“Lo tau apa yang bisa ngerubah seseorang Za? Saat dia bertemu dengan ketakutan terbesarnya”
Tara D'Pampered
“Tumben princess of daylight keluar malem.” Riza menggoda Tara sambil meletakkan minuman di depan wajah Tara. Tara menyambut minumannya dengan penuh semangat lalu mencari namanya yang tercantun di gelas tersebut “Catara” Secara lincah ia mengambil handphonenya dan memotret dengan background laptop dan meja-meja kosong lainnya ‘Chill’ ia mengetikkan captionnya, lalu mencondongkan dirinya ke Riza, “Parents outtown baby.”
Riza membuka camera handhphonenya, berpose dengan minuman
ditangannya dan menyenggol Tara, untuk ikut berselfie dengannya, Sesaat tara
menyadari Riza akan segera mengupdate hal tersebut, ia langsung melepaskan
ikatan rambutnya. Riza menatap Tara dengan wajah heran dan penuh mengejek.
“What? I’m Single remember? I should look
great everywhere” Tara akhirnya menjawab Riza yang tidak bertanya. Riza hanya
menganggukkan kepalanya lalu kembali fokus ke layar handphonenya, dan mencari
angle terbaik untuk menyebarkan foto mereka , ‘Catching up with anak cacing’ ia
tuliskan sebagai caption mereka.
“Oh iya ya bener juga, Btw, kok lo tumben
jomblo dan gak kedengeran deket sama siapa siapa?” Riza penasaran dengan teman
lama yang baru ia temui lagi ini.
“Tired of being playgirl perhaps?” Tara
menjawab pertanyaan Riza santai dan dibalas dengan tatapan tajam yang
mengartikan ia membutuhkan banyak penjelasan lebih dari sekedar guyonan yang
Tara lemparkan.
“I don't know, I just…”
“Can’t move on? Kayanya gue liat dia udah
move on aja tuh. Is it hurt?”
Riza memperhatikan wajah Tara dengan
pertanyaannya, Tara masih diam sambil mengaduk-ngaduk minumannya yang selama
ini ia sukai tanpa di aduk. Tara menjilat bibirnya sambil mengatur nafasnya
perlahan-lahan. Riza bisa menangkap Tara sedang memikirkan kalimat untuk
menjelaskan kepada dirinya, Riza mungkin orang yang selalu ada untuknya,
setelah sekitar satu tahun menghilang dari kehidupan Tara dan mendadak kembali
lagi,Riza bukan sesosok yang bisa Tara bohongi.
“Well, I guess…. It’s not hurt… But I feel
like I’m full of hatred right now.”
“You? Really? Seems like you’re not that
kind of girl before.”
“Yep, but you’ve been gone too long. And I
really don’t have anyone to have my back without you.”
“Hmm. So, What happens?”
“Lo tau banyak banget cerita gue lo lewatin.
Lo bahkan gatau kan alasan gue kemarena nggak jadi sama Rangga, bahkan lo gak
ngehirauin gue saat gue berusaha cerita tentang itu… dan itu alasan gue
nganggep lo gak mau gue ganggu lagi sih…”
“I’m sorry… Lo tau, gue waktu itu belom siap
nerima kenyataan aja kalo lo….”
“Sttttttttt” Tara langsung memotong kalimat
Riza sesaat ia sadar jika Riza akan kembali membahas perasaannya kepada Tara,
namun Tara lebih memilih Rangga, yang jauh lebih mengenalnya, dan hal itulah
yang menghancurkan hubungan pertemanan Tara-Riza menjadi suatu perang dingin
yang tidak jelas.
“Gue waktu itu cuma mau bilang sih, gue liat
Rangga masih chat sama cewek lain, that’s why I choose to leave, gue takut gue
kena php, walau akhirnya, dengan gue gitu dia yang nganggep gue php.”
“well, mungkin itu bisa bikin lo sadar kalo…”
“Terussss” Tara kembali memotong
pembicaraan Riza yang jelas tidak ingin ia dengar, “Sejak saat lo jauh dari
gue, gue ga punya temen cowok buat jadi sumber saran gue… And then gue mulai
jadi diri gue yang dulu, tapi juga yang baru….”
Tara memastikan Riza masih menyimak
ceritanya, mengingat beberapa pengalamannya terakhir ketika Riza benar-benar
selalu mengabaikan ceritanya. Riza mengangguk dan mengisyaratkan Tara untuk
melanjutkan ceritanya dengan mengangkat minumannya lalu menyantapnya sambil
menatap Tara, “Gue pacaran bentar-bentar, tapi itu juga bukan kemauan gue, gue
akui gue salah nggak bisa kasih diri gue space antara satu dengan yang
lainnnya, tapi gue beneran nggak pernah main-main sama yang namanya ngejalanin
hubungan.”
Tara merasakan matanya sudah sedikit panas,
ia teringat akan ceritanya belakangan ini, cerita yang tidak disukainya, bisa
dikatakan disesalinya, semuanya tidak mengantarkannya pada hal-hal lebih baik,
bahkan ia tidak merasa bahagia untuk menceritakkannya. Riza mengerti perasaan
Tara, ia memanggil pelayan untuk meminta tissue di meja mereka.
“Gue kalo sayang sama orang, gue nggak
setengah-setengah… Gue percayain, ampir semuanya, apapun gue pake hati, bukan
pake logika, dan it’s turns out when you love someone so much, they’ll feel
like you’ll always do, so they don’t love you the way you do."
“Not everyone, Ra.”
“Well, semua yang aku kenal gitu sih, itu
yang buat aku sekarang gini, no more love in my heart right now… Hatred already
conquers me.”
“You know you shouldn’t let it Ra. Gue udah
lama tau sama lo, sayang sama lo, walau gue tau mungkin gue bukan orang yang lo
butuhin tapi gue tau… Lo orang yang nggak akan ngebiarin kebencian nguasain
diri lo”
“Lo tau apa yang bisa ngerubah seseorang Za?
Saat dia bertemu dengan ketakutan terbesarnya, dan lo tau apa ketakutan
terbesar gue?”
Riza menatap Tara penuh arti, ia tau Tara
akan mengatakan sesuatu yang dalam, ia tau sebentar lagi Tara akan meledak
menangis, namun ia tidak berkata apa-apa, ia memilih membiarkan gadis itu
mengeluarkan isi hatinya, mengeluarkan seluruh kebencian yang dipendamnya
belakangan ini, karena ia tidak bisa menceritakannya, bukan karena hal tersebut
merupakan aib baginya, melainkan karena ia tidak memiliki orang yang membuatnya
nyaman untuk menjelaskan perasaannya, insecure, itu la yang selalu menghantui
Tara selama ini, insecure atas ketakutan terbesarnya. Riza menganggukkan
kepalanya pelan, menandakan bahwa ia sudah siap mendengar lanjutan kalimat
Tara.
“ketika orang yang gue peduliin pergi
tanpa aba-aba.”