“maaf, nomor yang anda tuju sedang sibuk”
Tanpa sengaja aku melempar handphoneku pelan ke meja
“Gila keras banget ini orang.” Aku menggelengkan kepalaku, menghela nafas
lalu memandangi sekeliling Kafe, kafe dengan nuansa bamboo ini sangat membuatku
tenang. ‘perfect place to be alone’, yah
walaupun saat ini aku tidak benar-benar sedang menenangkan pikiranku seperti
yang biasanya aku lakukan disini. Sekarang aku sedang duduk merenung memutar
otak apa yang harus aku lakukan. Lagi-lagi, aku berada di tengan-tengah
hubungan orang lain, bukan sebagai orang ketiga, tapi sebagai penengah. Miksi,
nama panggilan temanku yang aslinya bernama fretty, ia yang tadi mereject
telfonku, lalu meninggalkanku pesan “Aku gak mau denger apa-apa”.
Lalu mengapa
sekarang aku berteman dengan Miksi? Mungkin karena aku sudah tidak berbeda
dengannya? Haha, setidaknya mantanku akan sependapat dengan kalimat tersebut,
yep, I’m an easy A for him, and that’s why he left. But, Am I? Entahlah, aku
tidak ingin memusingkan hal itu sekarang, aku sudah menghabiskan air mataku
saat menuju ke kafe ini, sesampai disini Rangga menelfonku. Sebelum Rangga
menelfon aku yakin hal yang akan ia bicarakan denganku adalah hal yang sama
seperti yang dipermasalahkan oleh mantanku, masalalu. Saat ia menelfonku, ia
menceritakan hal tersebut tepat seperti yang aku bayangkan dan aku
meyakinkannya untuk tetap tinggal, karena aku tidak ingin Miksi merasakan apa
yang jelas aku rasakan saat ini, kehancuran tingkat kepribadian, seolah aku
sudah kehilangan diriku. Mengingat aku adalah seorang koas yang sedang berada
di stase jiwa, aku tentu bisa menentukan diagnosis untuk diriku sendiri, depresi,
hanya saja aku tidak tau tingkat depresi yang aku alami, aku masih bisa
mengontrolnya, menutupi kehancuran hatiku di depan teman-temanku, padahal saat
sendirian, pikiran untuk melukai diri sendiri sudah selalu aku rasakan, bahaya,
namun aku masih menyimpan semuanya sendirian. Aku mengungkapkan semuanya pada
Rangga, kisah ku dan seluruh alasan mengapa ia harus bertahan dengan Miksi,
tidak butuh waktu lama, entahlah, entah aku yang sangat meyakinkan, atau memang
sebenarnya Rangga tidak memperdulikan hal itu, aku tersenyum puas saat Rangga
mengatakan, “Yaudah si La, sebenernya gue udah gak terlalu kepikiran masalah
itu, gue juga tau itu bukan masalah yang seharusnya gue ributin.” Yes! Seruku
dalam hati, satu hati aku cegah dari kehancuran.
“Tapi bukan cuma itu..” Rangga menambahkan ragu
“Apa lagi ngga?” Aku merasakan ada sesuatu yang salah, jelas
ia sudah serius menerima masalalu Miksi, aku bisa mempercayainya dari kalimat
ia berbicara.
“Gue tu males dia keras banget kayak batu, Gue gak pernah
berniat buat ngelarang dial oh, cuma ya emang ada banyak tingkah dia yang gue
gak suka…”
“Contohnya?”
“Keluar malem, ya lo harusnya ngerti dong gimana perasaan
gue..”
“Gue ngerti,” Aku memotong kalimat Rangga, “Tapi lo harus tau
Nggak, orang gak akan pernah berubah kalo dirinya gak sadar, kalo lo ngelarang
dia, itu gak akan bikin dia berenti, cuma bakal bikin dia bohong sama Lo.”
“Nah kan itu..”
“Yang harus lo lakuin adalah..” Aku kembali memotong
tanggapan Rangga, “Ngejelasin ke dia kenapa lo gak suka, dan apa dampaknya kalo
dia nerusinnya. Gue sebagai cewek suka kok diingetin, asal dalem bates wajar,
dan cara yang tepat. ”
“Dia tu batu banget, La. Gue tu udah ngomong dengan sebaik
mungkin, selembut mungkin.. Tapi dia…. “
Percakapan
kami tidak hanya membahas tentang pulang malam, Rangga menceritakan semuanya
denganku, semua tingkah miksi, dan aku percaya, aku sudah mendengar cerita
tentang miksi dan hubungannya yang sebelumnya, aku tau jelas Rangga tidak
sedang berbohong ataupun menjelekkan Miksi, ia tidak sangat berhati-hati dengan
segala hal yang ia ceritakan. “Yaudah Nggak, nanti gue bantu ngomong sama
Miksi, gue bakal netral kok, dan gue gak akan jelekin lo atau Miksi, tenang
aja.” Itu kalimat yang akhirnya aku lontarkan agar pembicaraan itu
terselesaikan. Setelah menutup telfon aku langsung menelfon Miksi dan Yap, dia
mereject telfonku.