20 Agustus 2017

. . . . .H A T R E D. . . . .


“Lo tau apa yang bisa ngerubah seseorang Za? Saat dia bertemu dengan ketakutan terbesarnya”

Tara D'Pampered




“Tumben princess of daylight keluar malem.” Riza menggoda Tara sambil meletakkan minuman di depan wajah Tara. Tara menyambut minumannya dengan penuh semangat lalu mencari namanya yang tercantun di gelas tersebut “Catara” Secara lincah ia mengambil handphonenya dan memotret dengan background laptop dan meja-meja kosong lainnya ‘Chill’ ia mengetikkan captionnya, lalu mencondongkan dirinya ke Riza, “Parents outtown baby.”
Riza membuka camera handhphonenya, berpose dengan minuman ditangannya dan menyenggol Tara, untuk ikut berselfie dengannya, Sesaat tara menyadari Riza akan segera mengupdate hal tersebut, ia langsung melepaskan ikatan rambutnya. Riza menatap Tara dengan wajah heran dan penuh mengejek.
“What? I’m Single remember? I should look great everywhere” Tara akhirnya menjawab Riza yang tidak bertanya. Riza hanya menganggukkan kepalanya lalu kembali fokus ke layar handphonenya, dan mencari angle terbaik untuk menyebarkan foto mereka , ‘Catching up with anak cacing’ ia tuliskan sebagai caption mereka.
“Oh iya ya bener juga, Btw, kok lo tumben jomblo dan gak kedengeran deket sama siapa siapa?” Riza penasaran dengan teman lama yang baru ia temui lagi ini.
“Tired of being playgirl perhaps?” Tara menjawab pertanyaan Riza santai dan dibalas dengan tatapan tajam yang mengartikan ia membutuhkan banyak penjelasan lebih dari sekedar guyonan yang Tara lemparkan.
“I don't know, I just…”
“Can’t move on? Kayanya gue liat dia udah move on aja tuh. Is it hurt?”
Riza memperhatikan wajah Tara dengan pertanyaannya, Tara masih diam sambil mengaduk-ngaduk minumannya yang selama ini ia sukai tanpa di aduk. Tara menjilat bibirnya sambil mengatur nafasnya perlahan-lahan. Riza bisa menangkap Tara sedang memikirkan kalimat untuk menjelaskan kepada dirinya, Riza mungkin orang yang selalu ada untuknya, setelah sekitar satu tahun menghilang dari kehidupan Tara dan mendadak kembali lagi,Riza bukan sesosok yang bisa Tara bohongi.
“Well, I guess…. It’s not hurt… But I feel like I’m full of hatred right now.”
“You? Really? Seems like you’re not that kind of girl before.”
Yep, but you’ve been gone too long. And I really don’t have anyone to have my back without you.”
“Hmm. So, What happens?”
“Lo tau banyak banget cerita gue lo lewatin. Lo bahkan gatau kan alasan gue kemarena nggak jadi sama Rangga, bahkan lo gak ngehirauin gue saat gue berusaha cerita tentang itu… dan itu alasan gue nganggep lo gak mau gue ganggu lagi sih…”
“I’m sorry… Lo tau, gue waktu itu belom siap nerima kenyataan aja kalo lo….”
“Sttttttttt” Tara langsung memotong kalimat Riza sesaat ia sadar jika Riza akan kembali membahas perasaannya kepada Tara, namun Tara lebih memilih Rangga, yang jauh lebih mengenalnya, dan hal itulah yang menghancurkan hubungan pertemanan Tara-Riza menjadi suatu perang dingin yang tidak jelas.
“Gue waktu itu cuma mau bilang sih, gue liat Rangga masih chat sama cewek lain, that’s why I choose to leave, gue takut gue kena php, walau akhirnya, dengan gue gitu dia yang nganggep gue php.”
“well, mungkin itu bisa bikin lo sadar kalo…”
“Terussss” Tara kembali memotong pembicaraan Riza yang jelas tidak ingin ia dengar, “Sejak saat lo jauh dari gue, gue ga punya temen cowok buat jadi sumber saran gue… And then gue mulai jadi diri gue yang dulu, tapi juga yang baru….”
Tara memastikan Riza masih menyimak ceritanya, mengingat beberapa pengalamannya terakhir ketika Riza benar-benar selalu mengabaikan ceritanya. Riza mengangguk dan mengisyaratkan Tara untuk melanjutkan ceritanya dengan mengangkat minumannya lalu menyantapnya sambil menatap Tara, “Gue pacaran bentar-bentar, tapi itu juga bukan kemauan gue, gue akui gue salah nggak bisa kasih diri gue space antara satu dengan yang lainnnya, tapi gue beneran nggak pernah main-main sama yang namanya ngejalanin hubungan.”
Tara merasakan matanya sudah sedikit panas, ia teringat akan ceritanya belakangan ini, cerita yang tidak disukainya, bisa dikatakan disesalinya, semuanya tidak mengantarkannya pada hal-hal lebih baik, bahkan ia tidak merasa bahagia untuk menceritakkannya. Riza mengerti perasaan Tara, ia memanggil pelayan untuk meminta tissue di meja mereka.
“Gue kalo sayang sama orang, gue nggak setengah-setengah… Gue percayain, ampir semuanya, apapun gue pake hati, bukan pake logika, dan it’s turns out when you love someone so much, they’ll feel like you’ll always do, so they don’t love you the way you do."
“Not everyone, Ra.”
“Well, semua yang aku kenal gitu sih, itu yang buat aku sekarang gini, no more love in my heart right now… Hatred already conquers me.”
“You know you shouldn’t let it Ra. Gue udah lama tau sama lo, sayang sama lo, walau gue tau mungkin gue bukan orang yang lo butuhin tapi gue tau… Lo orang yang nggak akan ngebiarin kebencian nguasain diri lo”
“Lo tau apa yang bisa ngerubah seseorang Za? Saat dia bertemu dengan ketakutan terbesarnya, dan lo tau apa ketakutan terbesar gue?”
Riza menatap Tara penuh arti, ia tau Tara akan mengatakan sesuatu yang dalam, ia tau sebentar lagi Tara akan meledak menangis, namun ia tidak berkata apa-apa, ia memilih membiarkan gadis itu mengeluarkan isi hatinya, mengeluarkan seluruh kebencian yang dipendamnya belakangan ini, karena ia tidak bisa menceritakannya, bukan karena hal tersebut merupakan aib baginya, melainkan karena ia tidak memiliki orang yang membuatnya nyaman untuk menjelaskan perasaannya, insecure, itu la yang selalu menghantui Tara selama ini, insecure atas ketakutan terbesarnya. Riza menganggukkan kepalanya pelan, menandakan bahwa ia sudah siap mendengar lanjutan kalimat Tara.

“ketika orang yang gue peduliin pergi tanpa aba-aba.”